Gelar Cerita, Ungkapkan pikiran, berbagi pengetahuan

Jumat, 15 Januari 2016

KU PERSEMBAHKAN UNTUKMU

“Kita pisah saja!” Itulah kata terakhir yang diucapkan ayah kepada ibu. Entah masalah apa yang membuat mereka bertengkar. Sejak itu ayah pergi meninggalkan aku, ibu, dan adikku yang baru genap 1 tahun yang kemudian dititipkan pada Tante Ruroh, adik ibuku. Tidak ada seorang pun yang tahu akan keberadaan ayah.
Kejadian itu membuatku putus asa dan berontak karena tak kuat menahan sakit hati ini. Terkadang aku ingin pergi ke suatu tempat yang tinggi untuk melampiaskan kekesalanku pada ayah yang tega meninggalkan kami.
. . .
Mega merah mulai tersenyum kepadaku. Desahan angin yang gemuruh pun menenangkan pikiranku. Pelan-pelan ku hapus air mataku dengan kain sutra pemberian ibuku. “Oh ibu, kaulah penyemangatku, kaulah pahlawanku, kaulah deraian tawaku, kaulah yang membuatku untuk bertahan hidup,” gumamku dalam hati.
Tiba-tiba ada tangan lembut membelai pundakku. Menatap wajahku dalam-dalam. Seraya hendak berkata kepadaku.
“Sudahlah Nak, kita harus bangkit dari keterpurukan. Kita mulai lagi dari nol. Tidak usah memikirkan masa yang telah lalu.”
Ketegaran ibu tampak diraut wajahnya yang dihiasi kedamaian. Dari lantunan katanya itu, pelan-pelan membuatku bangkit dan menghampiri ibu.
“Iya Bu, benar apa yang ibu katakan,” jawabku sembari memeluk ibu.
“Ibu jualan dulu ya!” pamit ibu kepadaku.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum menahan air mata. Memang sejak kepergian ayah, ibulah yang menjadi kepala keluarga dan mencari nafkah untuk kami.
Jarum jam telah menunjuk ke angka 8 malam, tetapi ibu belum juga sampai di rumah, padahal biasanya sebelum jam 8 ibu sudah berada di rumah untuk menemaniku belajar. Malam semakin larut dan ibu juga tak kunjung datang. Aku mulai cemas menunggu kedatangan ibu. Berkali-kali aku menatap jam. Berkali-kali pula aku berjalan keluar masuk rumah.
“Assalamu’alaikum!” salam ibu kepadaku dengan semangat.
“Wa’alaikumussalam,” jawabku sambil berlari kecil ke halaman.
Ku raih dan ku bawakan rinjing yang digunakan ibu sebagai tempat untuk meletakkan gorengan.
“Ibu capek?” tanya ku sambil memijat pundak ibu.
Nggak kok sayang. Ibu kan kuat,” kata ibu dengan sedikit bercanda.
Ibu tak pernah memperlihatkan kelelahannya kepadaku karena ibu tak ingin aku bersedih.
“Ibu kok pulangnya malem banget sih?” lanjutku dengan wajah manja.
Ibu tak menjawab apapun, ibu hanya menoleh melihat wajahku dan tersenyum.
Sejenak suasana terasa hening, hanya nyanyian jangkrik yang terdengar di telingaku.
“Kamu sudah belajar Lum?” tanya ibu memecah keheningan sesaat di rumahku.
“Sudah dong, besok Ulum ada ulangan matematika!” jawabku dengan penuh semangat.
“Ya sudah, kamu cepat tidur biar besok nggak bangun kesiangan!” suruh ibu.
“Siap ibuku sayang!” jawabku sambil tertawa kecil.
Terlihat kembali senyum manis dari bibir ibu yang semakin menghiasi wajah cantiknya.
Aku menuju kamar tidurku yang terletak di sebelah dapur. Kamarku tak begitu luas, tetapi setidaknya masih bisa diisi dengan sebuah ranjang sederhana yang terbuat dari kayu, dan sebuah almari kecil untuk meletakkan bajuku. Hal itu membuat kamarku semakin terasa sempit. Meski demikian, aku tetap bersyukur  masih dapat tidur dengan nyaman di dalam kamar.
Saat sang fajar mulai menampakkan wajahnya. Aku telah siap untuk berangkat ke sekolah.
“Bu, Ulum berangkat sekolah,” pamitku kepada ibu sambil mencium tangannya.
“Hati-hati ya sayang, semoga ulangan nanti kamu bisa mengerjakan dengan lancar dan mendapat nilai yang sangat baik,” jawab ibu sembari mencium pipiku.
Sejak aku kecil, ibu selalu mencium pipiku sebelum aku berangkat sekolah. Hal itu membuat teman-temanku meledekku dengan sebutan “anak mama” tetapi aku tidak pernah menghiraukan sebutan itu, karena menurutku itu adalah hal wajar yang dilakukan seorang ibu kepada anaknya. Beruntung aku dapat diperlakukan seperti itu oleh ibuku, karena masih banyak di luar sana yang ingin diperlakukan seperti itu oleh ibunya tetapi tidak bisa.

Aku mulai berjalan menuju sekolahku yang berjarak satu kilometer dari rumah. Sesekali aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Menikmati pemandangan alam yang jarang ditemui di kota-kota besar. Sawah yang menguning menemani perjalananku hingga ke sekolah.
Tak terasa, sampailah aku di gerbang sekolah yang bersih nan indah. Bel tanda masuk berbunyi, aku segera masuk ke kelasku.
Kelas IX-G, itulah kelasku. Terletak di lantai dua dekat kantor. Kelas yang sangat nyaman untuk belajar. Ada 39 anak di kelasku, mereka mempunyai karakter yang berbeda tetapi jika disatukan mereka bisa kompak. Aku merasa sangat bahagia bersekolah disini.
Aku dan teman-temanku duduk dengan tenang menunggu kedatangan Pak Ali, guru mata pelajaran matematika di kelasku.
“Assalamu’alaikum,” salam Pak Ali kepada kami.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh,” jawab kami serempak.
Pak Ali telah tiba dan soal matematika pun dibagikan. Ada 15 soal uraian dan semuanya aku jawab dengan penuh percaya diri. Tak terasa 45 menit berlalu, bel istirahat pun berbunyi dan soal matematika telah ku kerjakan dengan lancar.
“Lum, ayo makan bakso di kantin!” ajak Rofiq teman sebangkuku.
“Aku makan nanti saja di rumah,” jawabku.
“Ayolaaahh Ulum, kamu kan jarang banget ke kantin,” rayu Rofiq.
“Aku mau ke perpus, mengembalikan buku yang aku pinjam kemarin. Kapan-kapan saja ya kita makan bakso bersama!” alasanku kepada Rofiq.
Aku menolak ajakan Rofiq ke kantin bukan karena kantin sekolah jorok ataupun makanannya tidak enak, tetapi aku berusaha untuk hidup sederhana dan hemat. Jarang sekali aku ke kantin, kalaupun aku ke kantin mungkin hanya membeli segelas aqua itu pun jika aku tidak membawa air putih sendiri dari rumah. Maklum makanan di sekolahku lumayan mahal, yang paling murah saja Rp.5000,- sementara uang sakuku setiap harinya hanya Rp.3000,-. Bagiku itu sudah lebih dari cukup untukku yang masih duduk di bangku SMP.
Bel tanda masuk berbunyi, pelajaran dimulai kembali. Pak Ali masuk ke kelasku untuk membagikan hasil ulangan yang telah dinilai. “Ahmad Ulum.” Deg!!!! Jantungku berdebar saat Pak Ali memanggil namaku. Aku berjalan ke depan untuk mengambil secarik kertas yang berisi jawaban ulangan matematikaku tadi. Perlahan-lahan aku membukanya. Detak jantungku semakin tidak karuan. Hah!! 100?? aku tidak percaya, ku coba untuk melihatnya kembali, dan aku masih tidak percaya.
“Ppaa..Pa..Pak Ali, ini nilai saya?” tanyaku dengan terbata-bata.
“Iya Lum, itu nilai kamu. Kamu mendapatkan nilai 100,” jawab Pak Ali dengan tegas
Alhamdulillah, aku tidak salah melihat. Ini adalah nilai 100 pertama untukku dalam mata pelajaran matematika.
“Ibu pasti sangat senang, ini kejutan untukmu ibu,” gumamku dalam hati.
Sejak SD aku belum pernah mendapat nilai 100 untuk mata pelajaran matematika. Ibu sangat menginginkan aku mendapat nilai 100 pada mata pelajaran matematika, dan sekarang aku mendapatkan nilai yang ibu inginkan
Waktu berlalu dengan sangat cepat, bel tanda pulang pun berbunyi. Secepat kilat aku mengambil tas dan bergegas pulang ke rumah. Aku tak sabar ingin menunjukkan hasil ulangan matematikaku tadi kepada ibu. Aku berlari sangat kencang, tiba-tiba “braakkkk!!” aku terjatuh, remang-remang ada bayangan hitam dan beberapa detik kemudian semuanya menjadi gelap.
Aku merasakan ada yang menetes di tanganku.
“Sayang, bangun Nak!” terdengar suara yang tak begitu jelas di telingaku. Aku berusaha untuk membuka mataku yang terasa sangat berat ini. Sebuah cahaya dari lampu membuat mataku sedikit silau.
“Ibuuu…” rintihku.
“Ulum, kamu sudah sadar Nak?” tanya ibuku dengan nada cemas.
Aku hanya mengangguk perlahan.
Aku berada di rumah sakit, mencoba mengingat apa yang telah terjadi pada diriku. Terlihat orang membawa tas dengan memakai jas hitam. Aku mulai ingat, dialah pemilik mobil yang menabrakku sepulang sekolah tadi.
Pak Revan. Itulah nama pemilik mobil yang menabrakku. Pak Revan meminta maaf  kepadaku dengan wajah yang sombong, aku sedikit sebal dengannya tetapi bagaimanapun juga akulah yang salah. Aku menyeberang tanpa melihat kanan kiri dulu karena tidak sabar ingin menemui ibu. Aku meminta maaf  kembali kepada Pak Revan.
“Baguslah, kalau kamu nyadar!” kata Pak Revan sambil berlalu meninggalkanku tanpa menanyakan keadaanku. Aku bertanya-tanya, itukah sikap orang kaya kepada semua orang?
Seiring dengan berlalunya Pak Revan, aku teringat akan sesuatu. Selembar kertas hasil ulanganku tadi. Dimana kertas itu?
“Kamu mencari apa sih?” tanya ibu penasaran.
“Hasil ulanganku Bu, aku tadi mendapat nilai 100,” jawabku dengan sedikit bingung mencari hasil ulanganku tadi.
Wajah ibu terlihat ragu, sepertinya ibu tidak percaya kalau aku mendapat nilai sempurna.
“Sudahlah Ulum, kamu jangan mencoba menghibur ibu, pikirkan dulu kesembuhan kamu!” kata ibu dengan wajah tidak percaya
“Ibu akan mempercayai kata-katamu itu jika saat pengumuman hasil UNAS nanti kamu mendapat rata-rata 9,” lanjut ibu.
Aku tak dapat berbuat apa-apa, tak ada bukti yang mampu menguatkan perkataanku bahwa aku mendapat nilai 100 pada ulangan matematika tadi.
. . .
Hari Kamis, hari dimana aku diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit setelah 2 hari aku dirawat disana. Aku dan ibu berkemas-kemas, kami menuju loket pembayaran untuk melunasi biaya pengobatanku selam di rumah sakit.
“Tidak bisa Bu, jika ibu tidak bisa melunasi biaya pengobatan anak ibu selama di rumah sakit, maka anak ibu tidak diperbolehkan pulang,” kata penjaga loket.
Tiba-tiba aku teringat celenganku di rumah.
Celengan ayam, celengan kesayangan pemberian ayah saat aku berulang tahun yang ke-9. Sejak itu aku menyisihkan uang sakuku setiap hari untuk ku tabung. Awal aku masuk SMP, aku mempunyai niat memecah celengan itu untuk membeli novel Laskar Pelangi yang telah menginspirasiku untuk semangat sekolah, tetapi sampai saat ini aku belum juga memecah celengan tersebut. Mungkin sekaranglah waktu yang tepat untuk memecah celengan ayamku itu. Ibu lebih penting daripada novel Laskar Pelangi tersebut. Toh aku juga masih bisa menabung lagi, walaupun bukan pada celengan ayam pemberian ayah tersebut.
Tanpa pikir panjang lagi aku berjalan dengan sedikit sempoyongan menuju rumahku yang hanya berjarak 500 meter dari rumah sakit. Ku pecah celenganku dan ku ambil semua uang yang telah keluar dari celengan tersebut. Aku kembali menuju rumah sakit, lalu ku berikan uang itu kepada ibuku.
“Darimana uang ini kamu dapat Lum?” tanya ibuku dengan penuh curiga.
“Celengan Ulum Bu,” jawabku menunduk.
Semula ibu tidak percaya, tetapi setelah ku jelaskan semuanya ibu langsung memelukku dan menangis terharu.
Ibu menyerahkan uang itu kepada penjaga loket, dan ternyata uang tersebut pas.
Kami pun kembali ke rumah dengan perasaan yang lega dan bahagia.
. . .
Hari-hari ku jalani seperti biasa. UNAS tinggal menghitung hari, ku luangkan waktuku untuk belajar agar aku dapat mengerjakan ujian dengan lancar, tak lupa juga aku berdo’a kepada Allah. Aku ingin membahagiakan ibu dan pada saat pengumuman kelulusan nanti aku harus mendapatkan rata-rata 9.
Pendar kemerahan mulai menghiasi langit, aku duduk termenung menikmati suasana di desaku.
“Aaaahhhh!!!” Lamunanku terpecah saat teriakan ibu menggema di telingaku. Aku berlari  menuju dapur, aku terkejut saat ibu terlihat kesakitan sambil memegang tangan kanannya.
Penggoreng yang berisi minyak panas itu tidak sengaja tersenggol panci berisi air yang dibawa ibu. Karena tersenggol, minyak panas itu tumpah mengenai tangan ibu dan tangan ibu pun melepuh.
Aku berlari mengambil saputangan, lalu ku basahi dengan air dan ku balutkan pada tangan ibu yang melepuh itu. Aku sendiri yang mengobati luka ibu karena ibu tidak mau dibawa ke rumah sakit. Aku mencoba membujuk ibu, tetapi ibu tetap  teguh pada pendiriannya.
“Daripada uangnya dipakai untuk membayar pengobatan di rumah sakit, lebih baik dibuat untuk membiayai sekolahmu, lagipula luka ibu juga tidak terlalu parah kok,” kata ibu sambil mengelus rambutku
Sejak tangan ibu melepuh, aku yang menggantikan ibu untuk berjualan gorengan saat sore hari. Ibu juga sering sakit, berkali-kali aku membujuk ibu untuk ke rumah sakit tetapi ibu tetap tidak mau. Hingga pada suatu hari, ibu tidak kuat untuk melakukan apa-apa, akhirnya aku memanggil dokter untuk ke rumahku. Tidak diketahui pasti apa penyakit ibu, kucoba untuk berobat kesana kemari sampai barang-barang di rumah kami pun habis, tetapi hasilnya pun nihil
. . .
Hari Senin, hari pertamaku untuk melaksanakan UNAS. Hari itu pula, sakit ibu semakin parah. Hatiku bimbang dan kacau, aku ingin masuk sekolah untuk mengikuti Ujian Nasional tetapi disisi lain tak mungkin aku meninggalkan ibu yang sedang sakit parah.
“Ulum, kamu kok belum berangkat sekolah? Hari ini kamu ujian kan?” tanya ibu dengan suara serak.
Aku bingung harus menjawab apa. Apa aku harus meninggalkan ujian ini atau meninggalkan ibu sendiri. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan.
“Ulum, ibu nggak apa-apa, kamu harus ujian! Tunjukkan pada ibu kalau kamu bisa mendapat rata-rata 9!” kata ibu dengan nada sedikit tinggi.
Maka dengan berat hati, aku meninggalkan ibu di rumah sendirian dengan keadaan yang seperti itu. Demikian dengan hari-hari berikutnya.
. . .
Saat pengumuman kelulusan, wali murid diundang ke sekolah. Aku sempat iri melihat teman-temanku yang wali muridnya hadir. Sedangkan ibuku tidak dapat hadir karena belum sembuh dari sakitnya.
“Ahmad Ulum” namaku dipanggil, aku berjalan ke depan untuk mengambil amplop itu, lalu ku buka amplop itu dengan rasa was-was. Alhamdulillah, aku mendapat rata-rata 9. Aku sangat bahagia. Aku berterima kasih kepada bapak dan ibu guru, lalu aku bergegas menuju rumah.
Rumahku sangat ramai, banyak orang yang berdatangan. Aku berpikir, mungkin mereka tahu bahwa aku lulus dengan rata-rata yang sangat memuaskan dan ingin mengucapkan selamat kepadaku. Tetapi hatiku bertanya-tanya, mengapa mereka ke rumahku dengan pakaian serba hitam dan wajah mereka pun layu?
Tante Ruroh, adik semata wayang ibuku itu pun juga hadir di rumahku.
“Ulum,” kata Tante Ruroh sambil memelukku dengan tetesan air mata yang membasahi wajahnya.
Aku sangat bingung dengan apa yang terjadi. Aku segera masuk rumah dengan gembira, tak sabar ingin menunjukkan hasil ujian kepada ibu. Saat di dalam rumah, ku lihat seorang perempuan cantik yang berbaring diselimuti kain panjang berwarna putih.
Aku terkejut, terpukul, dan air mataku pun tumpah saat itu juga karena melihat ibu yang telah terbujur kaku di hadapanku. Aku mendekati jasad ibu, ku ciumi pipinya.
“Bu, Ulum berhasil mendapat rata-rata 9 Bu. Ibu harus lihat hasil ini,” hanya kata itu yang terus menerus terucap dari bibirku.
Air mataku semakin mengalir deras tak terbendung.
Ibu, aku telah membuktikan perkataanku, aku telah mendapatkan rata-rata 9. Aku telah mendapatkan apa yang ibu minta.
Wahai ibuku, hasil ujian ini aku persembahkan untukmu. (Arifa)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Blogger templates

Definition List

Unordered List

Support