Kejadian itu membuatku putus asa
dan berontak karena tak kuat menahan sakit hati ini. Terkadang aku ingin pergi
ke suatu tempat yang tinggi untuk melampiaskan kekesalanku pada ayah yang tega
meninggalkan kami.
. . .
Mega merah mulai tersenyum kepadaku.
Desahan angin yang gemuruh pun menenangkan pikiranku. Pelan-pelan ku hapus air
mataku dengan kain sutra pemberian ibuku. “Oh ibu, kaulah penyemangatku, kaulah
pahlawanku, kaulah deraian tawaku, kaulah yang membuatku untuk bertahan hidup,”
gumamku dalam hati.
Tiba-tiba ada tangan lembut
membelai pundakku. Menatap wajahku dalam-dalam. Seraya hendak berkata kepadaku.
“Sudahlah Nak, kita harus bangkit
dari keterpurukan. Kita mulai lagi dari nol. Tidak usah memikirkan masa yang
telah lalu.”
Ketegaran ibu tampak diraut
wajahnya yang dihiasi kedamaian. Dari lantunan katanya itu, pelan-pelan
membuatku bangkit dan menghampiri ibu.
“Iya Bu, benar apa yang ibu katakan,”
jawabku sembari memeluk ibu.
“Ibu jualan dulu ya!” pamit ibu
kepadaku.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum
menahan air mata. Memang sejak kepergian ayah, ibulah yang menjadi kepala
keluarga dan mencari nafkah untuk kami.
Jarum jam telah menunjuk ke angka 8
malam, tetapi ibu belum juga sampai di rumah, padahal biasanya sebelum jam 8
ibu sudah berada di rumah untuk menemaniku belajar. Malam semakin larut dan ibu
juga tak kunjung datang. Aku mulai cemas menunggu kedatangan ibu. Berkali-kali
aku menatap jam. Berkali-kali pula aku berjalan keluar masuk rumah.
“Assalamu’alaikum!” salam ibu
kepadaku dengan semangat.
“Wa’alaikumussalam,” jawabku sambil
berlari kecil ke halaman.
Ku raih dan ku bawakan rinjing yang
digunakan ibu sebagai tempat untuk meletakkan gorengan.
“Ibu capek?” tanya ku sambil memijat pundak ibu.
“Nggak kok sayang. Ibu kan kuat,” kata ibu dengan sedikit bercanda.
Ibu tak pernah memperlihatkan
kelelahannya kepadaku karena ibu tak ingin aku bersedih.
“Ibu kok pulangnya malem banget sih?”
lanjutku dengan wajah manja.
Ibu tak menjawab apapun, ibu hanya
menoleh melihat wajahku dan tersenyum.
Sejenak suasana terasa hening,
hanya nyanyian jangkrik yang terdengar di telingaku.
“Kamu sudah belajar Lum?” tanya ibu
memecah keheningan sesaat di rumahku.
“Sudah dong, besok Ulum ada ulangan matematika!” jawabku dengan penuh
semangat.
“Ya sudah, kamu cepat tidur biar besok nggak bangun kesiangan!” suruh ibu.
“Siap ibuku sayang!” jawabku sambil
tertawa kecil.
Terlihat kembali senyum manis dari
bibir ibu yang semakin menghiasi wajah cantiknya.
Aku menuju kamar tidurku yang
terletak di sebelah dapur. Kamarku tak begitu luas, tetapi setidaknya masih
bisa diisi dengan sebuah ranjang sederhana yang terbuat dari kayu, dan sebuah
almari kecil untuk meletakkan bajuku. Hal itu membuat kamarku semakin terasa
sempit. Meski demikian, aku tetap bersyukur
masih dapat tidur dengan nyaman di dalam kamar.
Saat sang fajar mulai menampakkan
wajahnya. Aku telah siap untuk berangkat ke sekolah.
“Bu, Ulum berangkat sekolah,” pamitku
kepada ibu sambil mencium tangannya.
“Hati-hati ya sayang, semoga
ulangan nanti kamu bisa mengerjakan dengan lancar dan mendapat nilai yang
sangat baik,” jawab ibu sembari mencium pipiku.
Sejak aku kecil, ibu selalu mencium
pipiku sebelum aku berangkat sekolah. Hal itu membuat teman-temanku meledekku
dengan sebutan “anak mama” tetapi aku tidak pernah menghiraukan sebutan itu, karena
menurutku itu adalah hal wajar yang dilakukan seorang ibu kepada anaknya.
Beruntung aku dapat diperlakukan seperti itu oleh ibuku, karena masih banyak di
luar sana yang ingin diperlakukan seperti itu oleh ibunya tetapi tidak bisa.
Aku mulai berjalan menuju sekolahku
yang berjarak satu kilometer dari rumah. Sesekali aku menoleh ke kanan dan ke
kiri. Menikmati pemandangan alam yang jarang ditemui di kota-kota besar. Sawah
yang menguning menemani perjalananku hingga ke sekolah.
Tak terasa, sampailah aku di
gerbang sekolah yang bersih nan indah. Bel tanda masuk berbunyi, aku segera
masuk ke kelasku.
Kelas IX-G, itulah kelasku. Terletak
di lantai dua dekat kantor. Kelas yang sangat nyaman untuk belajar. Ada 39 anak
di kelasku, mereka mempunyai karakter yang berbeda tetapi jika disatukan mereka
bisa kompak. Aku merasa sangat bahagia bersekolah disini.
Aku dan teman-temanku duduk dengan
tenang menunggu kedatangan Pak Ali, guru mata pelajaran matematika di kelasku.
“Assalamu’alaikum,” salam Pak Ali
kepada kami.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah
wabarakatuh,” jawab kami serempak.
Pak Ali telah tiba dan soal
matematika pun dibagikan. Ada 15 soal uraian dan semuanya aku jawab dengan
penuh percaya diri. Tak terasa 45 menit berlalu, bel istirahat pun berbunyi dan
soal matematika telah ku kerjakan dengan lancar.
“Lum, ayo makan bakso di kantin!” ajak
Rofiq teman sebangkuku.
“Aku makan nanti saja di rumah,” jawabku.
“Ayolaaahh Ulum, kamu kan jarang banget ke kantin,” rayu Rofiq.
“Aku mau ke perpus, mengembalikan
buku yang aku pinjam kemarin. Kapan-kapan saja ya kita makan bakso bersama!”
alasanku kepada Rofiq.
Aku menolak ajakan Rofiq ke kantin
bukan karena kantin sekolah jorok ataupun makanannya tidak enak, tetapi aku
berusaha untuk hidup sederhana dan hemat. Jarang sekali aku ke kantin, kalaupun
aku ke kantin mungkin hanya membeli segelas aqua itu pun jika aku tidak membawa
air putih sendiri dari rumah. Maklum makanan di sekolahku lumayan mahal, yang
paling murah saja Rp.5000,- sementara uang sakuku setiap harinya hanya
Rp.3000,-. Bagiku itu sudah lebih dari cukup untukku yang masih duduk di bangku
SMP.
Bel tanda masuk berbunyi, pelajaran
dimulai kembali. Pak Ali masuk ke kelasku untuk membagikan hasil ulangan yang
telah dinilai. “Ahmad Ulum.” Deg!!!! Jantungku berdebar saat Pak Ali memanggil
namaku. Aku berjalan ke depan untuk mengambil secarik kertas yang berisi
jawaban ulangan matematikaku tadi. Perlahan-lahan aku membukanya. Detak jantungku
semakin tidak karuan. Hah!! 100?? aku tidak percaya, ku coba untuk melihatnya
kembali, dan aku masih tidak percaya.
“Ppaa..Pa..Pak Ali, ini nilai
saya?” tanyaku dengan terbata-bata.
“Iya Lum, itu nilai kamu. Kamu
mendapatkan nilai 100,” jawab Pak Ali dengan tegas
Alhamdulillah, aku tidak salah
melihat. Ini adalah nilai 100 pertama untukku dalam mata pelajaran matematika.
“Ibu pasti sangat senang, ini
kejutan untukmu ibu,” gumamku dalam hati.
Sejak SD aku belum pernah mendapat
nilai 100 untuk mata pelajaran matematika. Ibu sangat menginginkan aku mendapat
nilai 100 pada mata pelajaran matematika, dan sekarang aku mendapatkan nilai
yang ibu inginkan
Waktu berlalu dengan sangat cepat,
bel tanda pulang pun berbunyi. Secepat kilat aku mengambil tas dan bergegas
pulang ke rumah. Aku tak sabar ingin menunjukkan hasil ulangan matematikaku
tadi kepada ibu. Aku berlari sangat kencang, tiba-tiba “braakkkk!!” aku
terjatuh, remang-remang ada bayangan hitam dan beberapa detik kemudian semuanya
menjadi gelap.
Aku merasakan ada yang menetes di
tanganku.
“Sayang, bangun Nak!” terdengar
suara yang tak begitu jelas di telingaku. Aku berusaha untuk membuka mataku
yang terasa sangat berat ini. Sebuah cahaya dari lampu membuat mataku sedikit silau.
“Ibuuu…” rintihku.
“Ulum, kamu sudah sadar Nak?” tanya
ibuku dengan nada cemas.
Aku hanya mengangguk perlahan.
Aku berada di rumah sakit, mencoba
mengingat apa yang telah terjadi pada diriku. Terlihat orang membawa tas dengan
memakai jas hitam. Aku mulai ingat, dialah pemilik mobil yang menabrakku
sepulang sekolah tadi.
Pak Revan. Itulah nama pemilik
mobil yang menabrakku. Pak Revan meminta maaf
kepadaku dengan wajah yang sombong, aku sedikit sebal dengannya tetapi
bagaimanapun juga akulah yang salah. Aku menyeberang tanpa melihat kanan kiri
dulu karena tidak sabar ingin menemui ibu. Aku meminta maaf kembali kepada Pak Revan.
“Baguslah, kalau kamu nyadar!” kata Pak Revan sambil berlalu
meninggalkanku tanpa menanyakan keadaanku. Aku bertanya-tanya, itukah sikap
orang kaya kepada semua orang?
Seiring dengan berlalunya Pak
Revan, aku teringat akan sesuatu. Selembar kertas hasil ulanganku tadi. Dimana
kertas itu?
“Kamu mencari apa sih?” tanya ibu penasaran.
“Hasil ulanganku Bu, aku tadi
mendapat nilai 100,” jawabku dengan sedikit bingung mencari hasil ulanganku
tadi.
Wajah ibu terlihat ragu, sepertinya
ibu tidak percaya kalau aku mendapat nilai sempurna.
“Sudahlah Ulum, kamu jangan mencoba
menghibur ibu, pikirkan dulu kesembuhan kamu!” kata ibu dengan wajah tidak
percaya
“Ibu akan mempercayai kata-katamu
itu jika saat pengumuman hasil UNAS nanti kamu mendapat rata-rata 9,” lanjut
ibu.
Aku tak dapat berbuat apa-apa, tak
ada bukti yang mampu menguatkan perkataanku bahwa aku mendapat nilai 100 pada
ulangan matematika tadi.
. . .
Hari Kamis, hari dimana aku
diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit setelah 2 hari aku dirawat disana.
Aku dan ibu berkemas-kemas, kami menuju loket pembayaran untuk melunasi biaya
pengobatanku selam di rumah sakit.
“Tidak bisa Bu, jika ibu tidak bisa
melunasi biaya pengobatan anak ibu selama di rumah sakit, maka anak ibu tidak
diperbolehkan pulang,” kata penjaga loket.
Tiba-tiba aku teringat celenganku
di rumah.
Celengan ayam, celengan kesayangan pemberian
ayah saat aku berulang tahun yang ke-9. Sejak itu aku menyisihkan uang sakuku
setiap hari untuk ku tabung. Awal aku masuk SMP, aku mempunyai niat memecah
celengan itu untuk membeli novel Laskar Pelangi yang telah menginspirasiku untuk
semangat sekolah, tetapi sampai saat ini aku belum juga memecah celengan
tersebut. Mungkin sekaranglah waktu yang tepat untuk memecah celengan ayamku
itu. Ibu lebih penting daripada novel Laskar Pelangi tersebut. Toh aku juga
masih bisa menabung lagi, walaupun bukan pada celengan ayam pemberian ayah
tersebut.
Tanpa pikir panjang lagi aku
berjalan dengan sedikit sempoyongan menuju rumahku yang hanya berjarak 500
meter dari rumah sakit. Ku pecah celenganku dan ku ambil semua uang yang telah
keluar dari celengan tersebut. Aku kembali menuju rumah sakit, lalu ku berikan
uang itu kepada ibuku.
“Darimana uang ini kamu dapat Lum?”
tanya ibuku dengan penuh curiga.
“Celengan Ulum Bu,” jawabku
menunduk.
Semula ibu tidak percaya, tetapi
setelah ku jelaskan semuanya ibu langsung memelukku dan menangis terharu.
Ibu menyerahkan uang itu kepada
penjaga loket, dan ternyata uang tersebut pas.
Kami pun kembali ke rumah dengan
perasaan yang lega dan bahagia.
. . .
Hari-hari ku jalani seperti biasa.
UNAS tinggal menghitung hari, ku luangkan waktuku untuk belajar agar aku dapat
mengerjakan ujian dengan lancar, tak lupa juga aku berdo’a kepada Allah. Aku
ingin membahagiakan ibu dan pada saat pengumuman kelulusan nanti aku harus
mendapatkan rata-rata 9.
Pendar kemerahan mulai menghiasi
langit, aku duduk termenung menikmati suasana di desaku.
“Aaaahhhh!!!” Lamunanku terpecah
saat teriakan ibu menggema di telingaku. Aku berlari menuju dapur, aku terkejut saat ibu terlihat
kesakitan sambil memegang tangan kanannya.
Penggoreng yang berisi minyak panas
itu tidak sengaja tersenggol panci berisi air yang dibawa ibu. Karena
tersenggol, minyak panas itu tumpah mengenai tangan ibu dan tangan ibu pun
melepuh.
Aku berlari mengambil saputangan,
lalu ku basahi dengan air dan ku balutkan pada tangan ibu yang melepuh itu. Aku
sendiri yang mengobati luka ibu karena ibu tidak mau dibawa ke rumah sakit. Aku
mencoba membujuk ibu, tetapi ibu tetap
teguh pada pendiriannya.
“Daripada uangnya dipakai untuk
membayar pengobatan di rumah sakit, lebih baik dibuat untuk membiayai
sekolahmu, lagipula luka ibu juga tidak terlalu parah kok,” kata ibu sambil mengelus rambutku
Sejak tangan ibu melepuh, aku yang
menggantikan ibu untuk berjualan gorengan saat sore hari. Ibu juga sering
sakit, berkali-kali aku membujuk ibu untuk ke rumah sakit tetapi ibu tetap
tidak mau. Hingga pada suatu hari, ibu tidak kuat untuk melakukan apa-apa,
akhirnya aku memanggil dokter untuk ke rumahku. Tidak diketahui pasti apa
penyakit ibu, kucoba untuk berobat kesana kemari sampai barang-barang di rumah
kami pun habis, tetapi hasilnya pun nihil
. . .
Hari Senin, hari pertamaku untuk
melaksanakan UNAS. Hari itu pula, sakit ibu semakin parah. Hatiku bimbang dan
kacau, aku ingin masuk sekolah untuk mengikuti Ujian Nasional tetapi disisi
lain tak mungkin aku meninggalkan ibu yang sedang sakit parah.
“Ulum, kamu kok belum berangkat sekolah? Hari ini kamu ujian kan?” tanya ibu
dengan suara serak.
Aku bingung harus menjawab apa. Apa
aku harus meninggalkan ujian ini atau meninggalkan ibu sendiri. Ya Allah, apa
yang harus aku lakukan.
“Ulum, ibu nggak apa-apa, kamu harus ujian! Tunjukkan pada ibu kalau kamu bisa
mendapat rata-rata 9!” kata ibu dengan nada sedikit tinggi.
Maka dengan berat hati, aku
meninggalkan ibu di rumah sendirian dengan keadaan yang seperti itu. Demikian dengan
hari-hari berikutnya.
. . .
Saat pengumuman kelulusan, wali
murid diundang ke sekolah. Aku sempat iri melihat teman-temanku yang wali
muridnya hadir. Sedangkan ibuku tidak dapat hadir karena belum sembuh dari
sakitnya.
“Ahmad Ulum” namaku dipanggil, aku
berjalan ke depan untuk mengambil amplop itu, lalu ku buka amplop itu dengan
rasa was-was. Alhamdulillah, aku mendapat rata-rata 9. Aku sangat bahagia. Aku
berterima kasih kepada bapak dan ibu guru, lalu aku bergegas menuju rumah.
Rumahku sangat ramai, banyak orang
yang berdatangan. Aku berpikir, mungkin mereka tahu bahwa aku lulus dengan
rata-rata yang sangat memuaskan dan ingin mengucapkan selamat kepadaku. Tetapi
hatiku bertanya-tanya, mengapa mereka ke rumahku dengan pakaian serba hitam dan
wajah mereka pun layu?
Tante Ruroh, adik semata wayang
ibuku itu pun juga hadir di rumahku.
“Ulum,” kata Tante Ruroh sambil
memelukku dengan tetesan air mata yang membasahi wajahnya.
Aku sangat bingung dengan apa yang
terjadi. Aku segera masuk rumah dengan gembira, tak sabar ingin menunjukkan
hasil ujian kepada ibu. Saat di dalam rumah, ku lihat seorang perempuan cantik
yang berbaring diselimuti kain panjang berwarna putih.
Aku terkejut, terpukul, dan air
mataku pun tumpah saat itu juga karena melihat ibu yang telah terbujur kaku di
hadapanku. Aku mendekati jasad ibu, ku ciumi pipinya.
“Bu, Ulum berhasil mendapat
rata-rata 9 Bu. Ibu harus lihat hasil ini,” hanya kata itu yang terus menerus
terucap dari bibirku.
Air mataku semakin mengalir deras
tak terbendung.
Ibu, aku telah membuktikan
perkataanku, aku telah mendapatkan rata-rata 9. Aku telah mendapatkan apa yang
ibu minta.
Wahai ibuku, hasil ujian ini aku
persembahkan untukmu. (Arifa)
0 komentar:
Posting Komentar